Ada satu masa yang bila anda menertawakan penggambaran bumi seperti ini, membayangkan, dan berulang kali menyatakan bahwa bumi itu bulat, anda akan dicemooh, dijauhi atau bahkan dibakar hidup-hidup. More here
Ada satu masa dimana bila seseorang membayangkan, memandang, dan/ atau menyatakan bahwa bumi itu bulat, dia akan merasa/ dianggap gila, dicemooh, dijauhi atau bahkan dikubur hidup-hidup. More about this here

 

P

asien itu sudah dalam keadaan tidak sadar ketika memasuki rumah sakit. Seorang lansia. Berusia 86 tahun, dengan kesadaran yang  semakin memburuk setelah 3 hari sebelumnya jatuh di rumah.

Setelah berulang kali pasien tidak merespon pertanyaan, dan hasil scan otak menunjukkan bahwa pasien mengalami subdural hematoma (penggumpalan/ penimbunan darah didalam subdura – rongga diantara otak dan tulang kepala) perawat langsung menghubungi dokter untuk segera melakukan pembedahan.

Dokter bedah itu sendiri, yang saat itu tengah melakukan operasi, berhenti sejenak melihat hasil scan dan menginstruksikan perawat untuk menghubungi keluarga guna menanda tangani formulir persetujuan pembedahan, sebelum kemudian kembali melanjutkan operasinya.

Setengah jam kemudian, setelah sang dokter selesai mengoperasi, dan pasien lansia tersebut masuk menggantikan pasien sebelumnya, perawat yang menyatakan bahwa kolom isian mengenai bagian mana yang hendak dioperasi belumlah diisi. Formulir tersebut adalah instrumen krusial dalam setiap proses pembedahan. Ini adalah data, panduan dan juga sumber berbagai pengukuran. Kolom kosong atau tidak spesifik, tentu saja bisa mengindikasikan banyak hal, dan mungkin mengakibatkan situasi yang tidak terbayangkan.

I saw the scans before”. “Saya sudah melihat hasil scan sebelumnya,” kata sang dokter bedah.” Itu ada di bagian kanan kepalanya. Jika kita tidak mengoperasinya segera, dia akan meninggal.” Tambahnya tergesa.

“Mungkin kita harus melihat film (hasil scannya)nya lagi” tukas sang perawat ragu.

Namun sang dokter, mengetahui bahwa untuk mengakses data tersebut lewat komputer rumah sakit membutuhkan waktu beberapa menit, tidak melihat itu sebagai sesuatu yang relevan.

If that’s what you want, then call the fucking ER and find the family!”. Seru sang dokter,”Sementara itu, sekarang saya akan menyelamatkan hidupnya”.

Sang dokter mengambil formulir isian, menuliskan “kanan” di kolom isian yang sebelumnya kosong. Sang perawat bergeser dan secara bertahap pembedahan dimulai.

Rambut di bagian kepala kanan sang pasien dicukur, antiseptik dioleskan, kulit kepala dikelupas, dan tulang tengkorak dibor, tiga kali sebelum akhirnya melalui potongan berbentuk segitiga sang dokter menemukan Dura, sejenis membran transparan, yang bersama lapisan lainnya, adalah semacam “sarung” dari otak.

Utuh.

“Ya Tuhan,” desis seseorang didalam ruang operasi tersebut.

Tidak ada hematoma disitu. Mereka telah mengoperasi bagian yang salah.

“Balikkan!” seru sang dokter bedah.

Tulang tengkorak yang sudah kadung dibuka kembali ditutup.  Kulit kepala kembali dijahit, lalu kepala sang pasien dibalik (putar) kan dan sekali lagi, prosedur operasi diulangi. Rambut dicukur, antiseptik dioleskan, kepala dibor, tiga kali sebelum akhirnya tulang tengkorak bisa dibuka dan kali ini, benar, disitulah gumpalan darah berada. Berwarna gelap seperti sirop, ada di bagian sebaliknya dari yang dibayangkan/ diingat.

Sang dokter segera menyedotnya. Tekanan otak segera turun, namun alas, operasi sudah berjalan hampir dua kali lipat dari durasi yang dibutuhkan.

Pasien dikembalikan ke ruang rawat intensif sesudahnya, namun tidak pernah benar-benar sadar sampai dua minggu kemudian meninggal.

Meskipun beberapa investigasi klinis mengenai insiden fatal ini menyatakan bahwa mustahil untuk dapat mengetahui secara persis penyebab meninggalnya sang pasien (dan sang dokter bedah pun menyangkal hubungan atas error yang dilakukannya dengan kematian sang pasien), pihak rumah sakit Rhode Island, tempat di mana kejadian ini berlangsung, setuju untuk memberikan kompensasi kepada keluarga pasien dan sang dokter bedah dilarang untuk melakukan operasi di rumah sakit tersebut.

(Kisah dan data lebih detail mengenai insiden – dan banyak lagi insiden menegangkan, gripping, mencengangkan – bisa disimak dari buku Charles Duhigg: The Power of Habits ini )

Kalau saja desain itu benar-benar hanya persoalan tampilan, sesuatu yang bahkan kalau dipikirkan sekalipun hanya mengenai penetapan/ penegasan acuan dan tujuan-tujuan dari perancangan tampilan seperti yang ditulis di bagian pertama ini, alangkah mudahnya desain. Kalau juga desain itu benar-benar seperti yang kita persepsikan dan pikirkan, yang biasanya, seperti ketika anda membaca tulisan ini, terlihat begitu mudah, alangkah lancarnya pengadaptasian desain yang dilakukan semua orang dan organisasi.

Namun nyatanya, desain bukanlah seperti itu. Desain tidaklah pernah dan/atau selalu beroperasi semudah itu.

Dalam prakteknya,  ini jauh lebih mudah untuk dikatakan (dan karenanya bisa begitu membingungkan) ketimbang dilakukan karena secara mendasar berbagai topik kerap tumpang dan tindih. Bukan karena topiknya itu sendiri, kita tidak akan pernah tahu mengenai itu, yang lebih pasti adalah karena pikiran orang yang menafsirkannya-lah yang tumpang dan tindih.

Melalui pikiran yang semrawut atau awut-awutan inilah, jangankan bisa memilih dan memilih. Menyambung-nyambungkan (making senses, melogika-kan, atau reasoning) berbagai ketumpang tindihan tersebut sebagai sebuah tautan yang runut pun sulit. Satu topik sering tertukar dengan topik lainnya, persoalan satu dianggap sama dengan persoalan lainnya.

Ambil contoh ketika seseorang menemukan sebuah permasalahan, katakanlah penurunan penjualan, dan menyambungkannya kedalam/ sebagai persoalan desain. Perumusan apakah ini persoalan manajemen desain, atau tampilan, atau jenis media, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Bahkan bila kemudian bisa terumuskan bahwa “lokasi” paling utama untuk dilokalisir adalah manajemen, penetapan faktor manajemen mana yang menjadi persoalan: apakah masalah budgetting, financing, administrasi atau SDM, dan lain sebagainya tidaklah pernah hal yang mudah untuk ditetapkan.

Seperti yang juga tertera di kisah diatas. Bahkan etika seseorang dapat merumuskan sebuah permasalahan: sebagai subdural hematoma misalnya. Perumusan mengenai di lokasi mana persoalan tersebut berlangsung, apakah di kiri, kanan atau belakang, adalah juga perumusan yang tidak kalah peliknya dan menentukan seperti pemrosesan (operasi) dan hasilnya kelak.

Ini adalah persoalan How to See. Bagaimana memandang sesuatu, bukan hanya membuat sesuatu.

Dan ini benar-benar- tidak mudah karena sebagian besar dari kita punya pandangan yang tidak ajeg mengenai cara memandang ini. Sehingga bahkan ketika di satu waktu kita bisa meyakini dan mengidamkan pandangan yang lebih cekas dan tegas, entah itu mengenai desain atau berbagai persoalan lainnya, kita sering membiarkan diri kita berkumpul dengan orang yang berkebalikan, berada justru di dalam lingkungan yang tidak mendukung menguatnya kedisiplinan tersebut.

Dan, celakanya lagi, seperti di rumah sakit Rhode Island yang menjadi lokasi berbagai insiden yang menjadi pengantar tulisan ini, banyak orang dan organisasi memandang berbagai persoalan melalui bertumpu pada konformitas dan rasa takut, sehingga banyak kebiasaan buruk bercokol. Begitu buruknya sampai,  jangankan membayangkan suatu yang baik akan lahir di kemudian hari, mempertahankan pikiran agar tetap waras dan jernih menelusuri berbagai persoalan yang tumpang tindih diantara prilaku sakit (seputar politik kantor, diskriminasi departemen, dan lain sebagainya) yang sudah sedemikian rupa dianggap kewajaran saja sudah merupakan perjuangan yang sulit.

Lebih celakanya lagi adalah ketika kita menyadari bahwa sebagian besar dari kita yang tumbuh di negara berkembang – secara budaya dan pendidikan – memang lebih tersiapkan menjadi konformis, pengekor dari sebuah topik ketimbang jadi pionir. Namanya juga negara ‘berkembang’, sepintar-pintarnya orang dan organisasi, tetaplah tidak/ belum maju.

Di satu sisi ini adalah halangan, ini adalah barier. Namun di sisi lain, ini adalah tantangan. Disini inilah persisnya ujian “kenaikan kelas” dari satu level kemampuan desain ke level berikutnya. Inilah persisnya bagian yang menentukan apakah seseorang akan menjadi desainer underdog untuk sebagian besar karirnya, atau – entah itu secara bertahap atau radikal – berdaya saing tinggi. Ini juga adalah titik balik kejatuhan dari seorang figur, bila secara mendasar tidak dapat mengembangkan pandangan yang uniknya secara konsisten alias élodan (‘angin-angin/ mudah terpengaruh – bahasa sunda), a.k.a tidak istiqomah.

Di titik inilah, dalam bayangan saya, kita para pembelajar desain bisa mempelajari setidaknya empat hal:

Pertama; Teknik itu penting, teknologi juga begitu, namun kepentingan (dan batas kepentingannya) akan selalu ditentukan dalam posisinya sebagai tools, perkakas pengeksekusian pandangan tertentu.

Kedua; Serumit apapun, secantik apapun, se-nyeni atau bahkan serapih apapun tampilan sebuah rancangan, ini hanyalah salah satu saja bagian dari desain. Apa yang kita sebut sebagai desain pada dasarnya selalu merupakan pelibatan banyak hal yang jauh lebih mendasar dan tidak kasat mata. Dibalik semua desain – sebaik atau sedekaden apapun itu – selalu adalah pandangan, prilaku, atau semacam ‘ideologi’ yang memungkinkannya menjadi seperti itu.

Ketiga; Pengontrolan cara pandang ini adalah elemen krusial dalam pengeksekusian desain. Bila seseorang atau sebuah organisasi membayangkan sebuah situasi dimana desain dapat menjadi ujung tombak dalam menyelesaikan berbagai persoalan, hal-hal tersebut, tidak bisa tidak, haruslah bisa dan secara konsisten diakomodir. Bila juga seseorang atau sebuah organisasi terlihat begitu berhasil dalam desain, mempelajari bagaimana latar belakangnya, kedisiplinannya, kreatifitasnya, jauh lebih penting ketimbang terpesona dengan hasil akhir atau tampilannya saja.

Keempat; diluar hal ini tentu saja, seseorang tetap dapat membuka satu demi satu bagian tempurung kepala orang bahkan ketika di sampingnya berulang kali, orang-orang berteriak untuk mengecek fakta dan menyesuaikan pandangan. Seseorang dapat begitu saja mengurusi tampilan, completely ignored pentingnya perumusan dan penegasan cara pandang dan/ atau kembali menekuni kebiasaan dan budaya dekaden yang dianggap wajar.

Hasilnya bisa sama atau beda, sukses atau tidak, kita mungkin tidak akan pernah tahu. Yang kita tahu persis adalah, seperti apapun itu, tidak bisa tidak, pasti akan selalu berhubungan dengan bagaimana desain dipandang sejak awal. Dengan kata lain, jawaban dari semua persoalan desain mungkin sebetulnya sudah ada sejak awal. Seseorang mau memandangnya, sementara orang lain tidak, itulah faktor krusial yang membedakannya.