Einstein 54 tahun. Santa Barbara, California
Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.
Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.
Saya tidak terlalu sering membicarakan desain saya secara khusus ke publik luas. Entahlah, meskipun saya bisa memahami berbagai pembenarannya Read more
I wish my body fill with electricity so when a mosquite bite me she’ll shocked to death.
-Fahmi Ilmansyah, a Raket Nyamuk Fan. A tribute to Elektra, Dee & Supernova–
Yang paling saya sukai dari kulkas adalah bila lampunya redup ketika dibuka… Itu berarti isinya ada banyak dan saya bisa beristirahat sebentar
– Fahmi Ilmansyah –
Dikisahkan, seorang ateis didatangi temannya, seorang yang – katanya – masih menganut agama. Temannya ini curhat tentang permasalahannya. Karirnya yang ‘mentok-lah, lilitan hutang yang tidak sedikit-lah, ancaman perceraian-lah, daan lain sebagainya. Singkat kata, temannya ini merasa putus asa dengan hidupnya.
Setelah lama menyimak, sang ateis angkat bicara:
Ateis : Gwa heran. Nggak habis pikir sama lu dan ‘kaum’ lu itu?
Penganut agama : Kenapa emang?
Ateis : Iya. Lu kan katanya punya agama, lu punya Tuhan. Lu punya panduan mengenai semua hal, lu punya Sesuatu yang, minimalnya, bisa dipake nge’bemper‘-in mental lu.
Pengangut agama : Trus?
Ateis : Lah, gwa kan kagak. Gua nggak punya agama. Gwa nggak ada Tuhan. Kalo gw mati nggak akan ada malaikat yang nyambut gua. Kasarnya, seterhormat apapun gwa, menurut agama loe itu, tempat gw cuman satu: neraka.
Penganut agama : Maksud lo?
Ateis : Kalau ada yang putus asa juga mustinya gua kali, bukan elu.
Penganut agama : … (diam. termenung agak lama, berusaha nyambung-nyambungin).
-Sekian-
Sore beres acara, di Jakarta hujan. Sudah sejak siang sebetulnya, tapi nggak berhenti-berhenti. Mobil travel baru datang pukul setengah delapan padahal mustinya pukul tujuh kurang, berikut selama satu setengah jam kemudian baru bisa masuk tol, dan pukul setengah dua belas malam saya tiba di Bandung.
Saya bukan orang yang trampil dalam multi tasking. Jadi selama meeting yang hampir seharian tadi itu (duh!), sms yang seharusnya saya kirim mengenai kunci rumah supaya nggak dititip ke tetangga (karena saya mungkin pulang malam & anak istri pergi liburan), baru terkirim pukul 3 sore – which is pretty useless. Kunci sudah terlanjur dititip ke tetangga.
So, pukul setengah dua belas malam itu, di jalan Sukarno Hatta yang panjang dan lengang, I was stranded. Berdiri lama nggak bisa pulang.Angkot nggak ada yang nongol. Nggak ada ojek. Mana becek :), akhirnya saya memutuskan untuk menyetop taksi menuju rumah orang tua.
Ibu tercinta kelihatannya baru saja bangun dan seperti biasa, menyambut kedatangan anaknya dengan satu kegiatan: diskusi. Read more
(Percakapan nyata di salah satu weekend yang lalu)
Fahmi : dede Tea lagi apa?
Anaknya (umur 5 taun kurang dikit) : Lagi nyuci piring.
Fahmi : Nyuci piring apa maenin sabuun?
Anaknya : Nyuci piring.
Fahmi : Kok sabunnya banyak banget?
Anaknya : Iya, biar cepet bersih.
(Fahmi ngeloyor pergi)
Fahmi : dede Tea lagi apa?
Anaknya : Masih nyuci piring.
Fahmi : Nyuci piring apa maenin sabuuun?
Anaknya : Nyuci piring, ayaaaaah.
Fahmi : Masa? kok perasaan nggak selesai-selesai dari tadi.
Anaknya : Kan belum bersih juga piringnya.
Fahmi : (… diam sebentar) Wah, bagus ya dede Tea
Anaknya : Apanya?
Fahmi : Makin mirip manusia.
Anaknya : (… terdiam sebentar) … Apa sih?
Fahmi : Iya, makin pinter ‘ngeles.
Anaknya : (… diam, agak lama, terlihat bingung) Ayaaaaaaaaaaaaah, aku kan emang manusiaaaa!.
Fahmi : Nah tuh. Bener kan?
(Fahmi ngeloyor. Tak lama kemudian disusul oleh anaknya. Kemungkinan karena mood ‘nyuci piring’nya udah turun. Fahmi ketawa dari kejauhan) :).
“Eh, geuning aya kica-kica“,
“Lho, kok ada kunang-kunang.” Begitu, untuk kesekian kalinya, seorang tamu mengujar heran dengan kehadiran binatang ini di teras rumah kami. Ya begitulah, alhamdulillah, sampai saat ini di lingkungan rumah kami kunang-kunang masih bisa dijumpai. Meskipun di musim kemarau cuman nampak satu dua, tapi di musim hujan bisa sampai dua atau tiga kali lipatnya. Kadang sampe nyasar masuk ke dalam rumah & terpaksa harus di”ungsi”kan keluar.
Tapi memang, semakin hari spesies ini semakin sulit dijumpai. Ketika sekitar dua tahun yang lalu saya sempat beberapa bulan menghabiskan waktu di Yogya, sama sekali tidak pernah saya menemukan kunang-kunang. Baik itu di kantor yang sebetulnya halamannya sangat luas, maupun di kost-an, yang juga banyak pohon. Aneh. Di rumah teman yang yang bertandang tersebut pun, yang sebetulnya daerah “pinggiran” Yogya, saya tidak pernah menemukannya.
Mungkin karena iklim Jogya yang relatif lebih panas daripada Bandung, mungkin juga karena tingkat kelembabannya (humidity), saya belum tahu persis. Namun sejak para tamu ini berulang kali membuat pernyataan seperti itu, sejak juga – mungkin karena nostalgia pengalaman sewaktu kecil (sewaktu kecil dulu, ketika binatang ini masih mudah ditemui, kami biasa menangkap, mengurungnya dalam toples dan bahkan menggencet & menempelkan badannya yang berpendar ke barang-barang, Masya Allah, maafkan saya), kunang-kunang berhasil menjadi topik khusus di pikiran saya. Sampai sekarang. Yang ternyata, setelah baca berbagai referensi di sana-sini, kepergian kunang-kunang ini berbicara tentang hal yang jauh lebih besar. Read more
P
asien itu sudah dalam keadaan tidak sadar ketika memasuki rumah sakit. Seorang lansia. Berusia 86 tahun, dengan kesadaran yang semakin memburuk setelah 3 hari sebelumnya jatuh di rumah.
Setelah berulang kali pasien tidak merespon pertanyaan, dan hasil scan otak menunjukkan bahwa pasien mengalami subdural hematoma (penggumpalan/ penimbunan darah didalam subdura – rongga diantara otak dan tulang kepala) perawat langsung menghubungi dokter untuk segera melakukan pembedahan.
Dokter bedah itu sendiri, yang saat itu tengah melakukan operasi, berhenti sejenak melihat hasil scan dan menginstruksikan perawat untuk menghubungi keluarga guna menanda tangani formulir persetujuan pembedahan, sebelum kemudian kembali melanjutkan operasinya.
Setengah jam kemudian, setelah sang dokter selesai mengoperasi, dan pasien lansia tersebut masuk menggantikan pasien sebelumnya, perawat yang menyatakan bahwa kolom isian mengenai bagian mana yang hendak dioperasi belumlah diisi. Formulir tersebut adalah instrumen krusial dalam setiap proses pembedahan. Ini adalah data, panduan dan juga sumber berbagai pengukuran. Kolom kosong atau tidak spesifik, tentu saja bisa mengindikasikan banyak hal, dan mungkin mengakibatkan situasi yang tidak terbayangkan.
“I saw the scans before”. “Saya sudah melihat hasil scan sebelumnya,” kata sang dokter bedah.” Itu ada di bagian kanan kepalanya. Jika kita tidak mengoperasinya segera, dia akan meninggal.” Tambahnya tergesa.
“Mungkin kita harus melihat film (hasil scannya)nya lagi” tukas sang perawat ragu.
Namun sang dokter, mengetahui bahwa untuk mengakses data tersebut lewat komputer rumah sakit membutuhkan waktu beberapa menit, tidak melihat itu sebagai sesuatu yang relevan.
“If that’s what you want, then call the fucking ER and find the family!”. Seru sang dokter,”Sementara itu, sekarang saya akan menyelamatkan hidupnya”.
Sang dokter mengambil formulir isian, menuliskan “kanan” di kolom isian yang sebelumnya kosong. Sang perawat bergeser dan secara bertahap pembedahan dimulai.
Rambut di bagian kepala kanan sang pasien dicukur, antiseptik dioleskan, kulit kepala dikelupas, dan tulang tengkorak dibor, tiga kali sebelum akhirnya melalui potongan berbentuk segitiga sang dokter menemukan Dura, sejenis membran transparan, yang bersama lapisan lainnya, adalah semacam “sarung” dari otak.
Utuh.
“Ya Tuhan,” desis seseorang didalam ruang operasi tersebut.
Tidak ada hematoma disitu. Mereka telah mengoperasi bagian yang salah. Read more